Sabtu, 26 November 2011

MENEMUKAN IDE POKOK DAN PERMASALAHAN DALAM ARTIKEL MELALUI KEGIATAN MEMBACA INTENSIF

MENEMUKAN IDE POKOK DAN PERMASALAHAN DALAM ARTIKEL MELALUI KEGIATAN MEMBACA INTENSIF

Membaca adalah salah satu jenis keterampilan berbahasa dan juga suatu proses yang kompleks dan rumit. Membaca yang kompleks dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu tergantung dari SDM atau diri individu sedangkan faktor eksternal yaitu berasal dari motivasi luar dan keduanya baik internal eksternal saling berkaitan. Faktor internal dan faktor eksternal bertujuan untuk memetik dan memahami arti makna yang ada dalam tulisan. Tujuan membaca adalah dapat memahami isi yang terkandung dalam bacaan, dapat menemukan ide pokok dalam suatu bacaan, dapat mengetahui permasalahan yang ada dalam bacaan dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan serta dapat membandingkan isi dari bacaan yang telah dibaca.
Membaca dapat diartikan sebagai proses dari alat indera yaitu mata dan mulut serta pikiran yang berproses mengartikan dan mengolah makna yang terkandung dalam tulisan atau bacaan. Kita sering membaca bermacam-macam tulisan diantaranya dengan membaca artikel. Artikel merupakan salah satu sumber informasi. Memuat hal-hal aktual yang sedang dibicarakan dan menampilkan solusi terhadap persoalan tersebut.
Artikel menurut Kamus Besar Indonesia adalah karya tulis lengkap misalnya laporan, , berita atau esai dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya. Artikel terdiri dari gagasan-gagasan yang tertuang ke dalam bentuk kalimat pada masing-masing paragraf. Gagasan inilah yang disebut dengan ide pokok penulisan. Biasanya kita sulit menentukan ide pokok dan permasalahan yang terdapat dalam artikel karena disebabkan kurangnya daya pemahaman dan memaknai isi dari suatu bacaan dan kurangnya pengetahuan ataupun teknik dalam menemukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel. Kita dapat menemukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel dengan membaca intensif, sehingga kita dengan cepat menemukan ide pokok yang terdapat dalam artkel.
Membaca intensif merupakan suatu kegiatan membaca secara teliti dengan tujuan memahami keseluruhan isi bacaan, baik yang bersifat tersurat maupun tersirat. Dengan membaca intensif kita dapat dengan mudah menentukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel. Ide pokok yang terdapat dalam artikel atau bacaan biasanya terdapat di awal kalimat (kalimat deduktif) , diakhir kalimat ( kalimat induktif) dan di tengah kalimat serta terdapat diawal dan akhir kalimat (campuran). Dengan demikian membaca intensif dapat mempermudah para pembaca ataupun pelajar dalam menemukan ide pokok dan permasalahan yang terdapat dalam artikel ataupun bacaan lainnya.








·         Membaca Intensif
Membaca intensif merupakan suatu kegiatan membaca secara teliti dengan tujuan memahami keseluruhan isi bacaan, baik yang bersifat tersurat maupun tersirat. Tujuan membaca intensif yaitu dapat dengan mudah menemukan ide pokok dan permasalahan yang dikaji dalam artikel atau suatu bacaan. Biasanya kita sulit menemukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel karena kurangnya pemahaman dan memaknai isi artikel atau suatu bacaan serta kurangnya pengetahuan tentang cara menemukan ide pokok dalam artikel. Untuk itu kita menggunakan cara membaca intensif dalam menemukan ide pokok maupun permasalahan yang dikaji dalam artikel maupun dari bacaan lainnya.

A.   Cara Menemukan Ide Pokok dan Permasalahan dalam Artikel

Didalam menemukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel ada beberapa letak yaitu terdapat di awal kalimat (deduktif), di akhir kalimat(induksi), di tengah kalimat dan di awal dan di akhir kalimat (campuran). Cara menemukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel yaitu bacalah artikel kemudian temukan ide pokoknya, biasanya ide pokoknya dijumpai di awal kalimat, di akhir kalimat dan di tengah kalimat serta di awal dan akhir kalimat, bila perlu kalimat-kalimat penjelas atau gagasan pendukungnya diabaikan. Setelah menemukan ide pokoknya dari masing-masing paragraf, rangkaikanlah dengan kalimat yang sederhana dan efektif untuk menjadikannya ke dalam satu kesatuan pikiran. Dengan demikian, pokok pesoalan atau permasalahan yang dibahas dalam artikel menjadi jelas. Menemukan ide pokok terdapat beberapa pola yaitu terbagi atas dua pola yakni:
B.   Pola Pengembangan Paragraf Secara Induksi
Pola pengembangan paragraf secara induksi yaitu pola pengembangan ide pokok atau gagasan-gagasan yang terdapat di akhir kalimat. Pola pengembangan paragraf secara induksi terdiri dari generalisasi, analogi dan sebab-akibat. Generalisasi adalah proses penalaran menggunakan beberapa pernyataan khusus dengan ciri-ciri tertentu untuk ditarik simpulan yang bersifat umum. Analogi adalah cara bernalar dengan membandingkan dua hal (atau lebih) yang memiliki sifat atau keadaan yang sama agar dapat ditarik simpulan yang sejalan. Sedangkan sebab-akibat adalah penyebab dari suatu masalah menuju akibat dari masalah tersebut.
C.   Pola Pengembangan Paragraf Secara Deduktif
Pola pengembangan paragraf secara deduktif yaitu pola pengembangan ide pokok atau gagasan-gagasan yang terdapat diawal kalimat. Pengembangan secara deduktif terdiri dari silogisme dan entimem. Silogisme adalah sebuah cara menarik simpulan (konklusi) berdasarkan premis yang ada. Premis adalah pernyataan yang dianggap atau diamsusikan benar. Sedangkan entimem adalah silogisme yang diperpendek atau dipersingkat. Caranya dengan melesapkan unsur PU (premis umum)..







Menulis Surat Lamaran Pekerjaan Berdasarkan Unsur- Unsur
dan Struktur yang Benar

Untuk mendapatkan suatu pekerjaan di kantor atau instansi, kita harus mengajukan permintaan atau permohonan ke bagian kepegawaian. Permohonan itu tidak disampaikan secara lisan, tetapi secara tertulis dalam bentuk suatu surat lamaran. Surat lamaran kerja harus disusun dengan sebaik – baiknya karena surat lamaran merupakan perwakilan dari diri sipelamar. Jika dibuat dengan cara dan bahasa yang asal – asalan, ada kemungkinana untuk ditolak dan peluang untuk memperoleh pekerjaan menjadi hilang. Cara menulis surat lamaran pekerjaan harus memenuhi syarat – syarat tertentu:
1. Bentuk surat harus meliputi :
- Kepala surat
- Tanggal penulisan surat atau titimangsa
- Salam pembuka
- Pembuka surat
- Tujuan surat lamaran pekerjaan
- Mencantumkan identitas atau jati diri
- Memenuhi persyaratan yang ditentukan
- Penutup surat
- Tanda tangan dan nama jelas

2. Bahasa surat harus memperhatikan:
-         Menggunakan bahasa yang sopan dan simpatik
-         Menggunakan kalimat yang efektif dan komunikatif
-         Menggunakan bahasa yang baku dengan menggunakan ejaan yang tepat dan benar
-          Tulisan harus rapi dan jelas

Di atas telah dijelaskan bahwa surat lamaran pekerjaan harus dibuat sesuai dengan svarat-syarat yang telah ditentukan agar dapat dibuat secara tepat dan sesuai dengan tujuan Agar Anda dapat membuat surat lamaran pekerjaan vang tepat, maka harus mengetahui kesalahan dan kekurangam sebuah surat lamaran pekerjaan. Di bawah ini disajikan sebuah surat lamaran yang masih mengandung kesalahan dan kekurangan. coba Anda analisis apa kesalah dan kekurangan surat lamaran pekerjaan tersebut.
Aktivitas Kelas
1. Telitilah surat lamaran pekerjaan berikut dari aspek:
a. Strukturnya
b. Bahasa
c. Isi atau tujuannya





MENULIS RESENSI BUKU PENGETAHUAN BERDASARKAN
FORMAT BAKU
secara etimologis, kata resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Kedua kata tersebut berarti melihat kembali, menimbang, atau menilai. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah recensie dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Berbagai istilah tersebut mengacu kepada hal yang sama yaitu mengulas sebuah buku. Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan resensi sebagai ”Pertim-bangan atau pembicaraan buku, ulasan buku”Gorys Keraf mendefinisikan resensi sebagai ”Suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya atau buku” (Keraf, 2001 : 274). Dari pengertian tersebut muncul istilah lain dari kata resensi yaitu kata pertimbangan buku, pembicaraan buku, dan ulasan buku. Intinya membahas tentang isi sebuah buku baik berupa fiksi maupun nonfiksi. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut penulis menyimpulkan bahwa resensi adalah tulisan ilmiah yang membahas isi sebuah buku, kelemahan, dan keunggulannya untuk diberitahukan kepada masyarakat pembaca.
Sistematika Resensi
Sistematika resensi atau bagian-bagian resensi dikenal juga dengan istilah unsur resensi. Unsur yang membangun sebuah resensi menurut Samad (1997 : 7-8) adalah sebagai berikut: (1) judul resensi; (2) data buku; (3) pembukaan; (4) tubuh resensi; dan (5) penutup. Penjelasan tentang bagian-bagian tersebut penulis kemukakan berikut ini.
a) Judul Resensi
Judul resensi harus menggambarkan isi resensi. Penulisan judul resensi harus jelas, singkat, dan tidak menimbulkan kesalahan penafsiran. Judul resensi juga harus menarik sehingga menimbulkan minat membaca bagi calon pembaca. Sebab awal keinginan membaca seseorang didahului dengan melihat judul tulisan. Jika judulnya menarik maka orang akan membaca tulisannya. Sebaliknya, jika judul tidak menarik maka tidak akan dibaca. Namun perlu diingat bahwa judul yang menarik pun harus sesuai dengan isinya. Artinya, jangan sampai hanya menulis judulnya saja yang menarik, sedangkan isi tulisannya tidak sesuai, maka tentu saja hal ini akan mengecewakan pembaca.
b) Data Buku
Secara umum ada dua cara penulisan data buku yang biasa ditemukan dalam penulisan resensi di media cetak antara lain:
a. Judul buku, pengarang (editor, penyunting, penerjemah, atau kata pengantar), penerbit, tahun terbit, tebal buku, dan harga buku.
b. Pengarang (editor, penyunting, penerjemah, atau kata pengantar, penerbit, tahun terbit, tebal buku, dan harga buku.
c) Pendahuluan
Bagian pendahuluan dapat dimulai dengan memaparkan tentang pengarang buku, seperti namanya, atau prestasinya. Ada juga resensi novel yang pada bagian pendahuluan ini memperkenalkan secara garis besar apa isi buku novel tersebut. Dapat pula diberikan berupa sinopsis novel tersebut.


d) Tubuh Resensi
Pada bagian tubuh resensi ini penulis resensi (peresensi) boleh mengawali dengan sinopsis novel. Biasanya yang dikemukakan pokok isi novel secara ringkas. Tujuan penulisan sinopsis pada bagian ini adalah untuk memberi gambaran secara global tentang apa yang ingin disampaikan dalam tubuh resensi. Jika sinopsisnya telah diperkenalkan peresensi selanjutnya mengemukakan kelebihan dan kekurangan isi novel tersebut ditinjau dari berbagai sudut pandang—tergantung kepada kepekaan peresensi.
e) Penutup
Bagian akhir resensi biasanya diakhiri dengan sasaran yang dituju oleh buku itu. Kemudian diberikan penjelasan juga apakah memang buku itu cocok dibaca oleh sasaran yang ingin dituju oleh pengarang atau tidak. Berikan pula alasan-alasan yang logis.
Bagaimana Meresensi Buku Novel?
Untuk meresensi novel terlebih dahulu kita harus memahami unsur-unsur pembangun novel. Unsur pembangun novel tersebut antara lain sebagai berikut: latar, perwatakan, cerita, alur, dan tema. Latar biasanya mencakup lingkungan geografis, dimana cerita tersebut berlangsung. Latar juga dapat dikaitkan dengan segi sosial, sejarah, bahkan lingkungan politik dan waktu. Perwatakan artinya gambaran perilaku tokoh yang terdapat dalam novel. Pembaca harus dapat menafsirkan perwatakan seorang tokoh. Cara penggambaran watak ini biasanya bermacam-macam. Ada penggambaran watak secara deskriptif dan ada pula secara ilustratif. Cerita novel bisa meliputi peristiwa secara fisik—seperti perampokan, pembunuhan, dan kematian mendadak, namun juga peristiwa kejiwaan yang biasanya berupa konflik batiniah pelaku. Alur berkenaan dengan kronologis peristiwa yang disampaikan pengarang. Sedangkan tema merupakan kesimpulan dari seluruh analisis fakta-fakta dalam cerita yang sudah dicerna. Sebelum menulis resensi perlu memahami terlebih dahulu langkah-langkah yang harus ditempuh. Berkenaan dengan itu Samad (1997 : 6-7) memberikan langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
A.   Penjajakan atau pengelanaan terhadap buku yang akan diresensi;
B.   Membaca buku yang akan diresensi secara konprehensif, cermat, dan teliti.
C.   Menandai bagian-bagian buku yang diperhatikan secara khusus dan menentukan bagian-bagian yang dikutif untuk dijadikan data;
D.  Membuat sinopsis atau intisari dari buku yang akan diresensi;
E.   Menentukan sikap dan menilai hal-hal yang berkenaan dengan organisasi penulisan, bobot ide, aspek bahasanya, dan aspek teknisnya;
Mengoreksi dan merevisi hasil resensi atas dasar kriteria yang kita tentukan sebelumnya. Berbagai buku paket mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia juga menganjurkan langkah-langkah menulis resensi novel. Buku Berbahasa dan Sastra Indonesia yang ditulis Syamsudin (2004 : 81) menyarankan langkah-langkah menulis resensi novel sebagai berikut:
A.   Tuliskan identitas buku pada awal tulisan;
B.   Kemukakan sinopsis atau ringkasan novel tersebut;
C.   Kemukakan pembahasan novel tersebut dilihat dari unsur-unsur pembentuknya. Tunjukkan kelebihan dan kekurangan novel tersebut disertai bukti berupa kutipan-kutipan;
D.  Bagian akhir diisi dengan simpulan, apakah novel itu cukup baik untuk dibaca serta siapa yang layak membaca novel tersebut.


Pendapat yang lebih ringkas tentang langkah menulis resensi novel dikemukakan dalam buku paket lain yang ditulis Permadi (2005 : 233) sebagai berikut:
A.   Pilihlah novel yang baru diterbitkan, biasanya 3 tahun terakhir;
B.   Kemukakan identitas buku novel secara singkat berkenaan dengan pengarang, tahun terbit, dan jumlah halaman, serta katalog;
C.   Kemukakan garis besar novel secara ringkat, kelebihan dan kekurangannya.
Pendapat lain tentang langkah menulis resensi dikemukakan oleh Raharjo (2004 : 54) sebagai berikut:
A.   Membaca contoh-contoh resensi;
B.   Menentukan buku yang akan diresensi;
C.   Membaca buku yang akan diresensi secara teliti;
D.   Mencatat hal-hal yang menarik dan yang tidak menarik dari buku yang akan diresensi;
E.   Berlatih menyusun resensi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis melihat banyak persamaan tentang langkah-langkah penulisan resensi. Jika semua pendapat tersebut digabungkan maka secara garis besar langkah menulis resensi terbagi atas tiga tahapan. Tahapan menulis resensi adalah sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan meliputi: (a) Membaca contoh-contoh resensi; dan (b) Menentukan buku yang akan diresensi.
2. Tahap Pengumpulan data: (a) Membaca buku yang akan diresensi; (b) Menandai bagian-bagian yang akan dijadikan kutipan sebagai data; (c) Menuliskan data-data penulisan resensi.
3. Tahap penulisan meliputi: (a) Menuliskan identisa buku; (b) Mengemukakan sinopsis novel; (c) Mengemukakan kelebihan dan kekurang-an buku novel; (d) Mengemukakan sasaran pembaca; dan (e) Mengoreksi dan memperbaiki resensi berdasarkan susunan kalimatnya, kohesi dan koherensi karangan, diksi, ejaan dan tanda bacanya.

Landasan politik luar negeri

 Landasan politik luar negeri
setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. kebijakan tersebut merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yag senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.
Politik luar negeri Indonesia telah memasuki masa enam dekade sejalan dengan usia negara Republik Indonesia. Selama enam puluh tahun itu pula perjalanan bangsa dan negara Indonesia mengalami dinamika dalam menjalankan politik domestik demi kesejahteraan rakyat, sekaligus mengukuhkan eksistensinya di dunia internasional, melalui politik luar negeri. Pergantian kepemimpinan mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandakan telah berlangsungnya proses demokrasi di Indonesia, meski dengan berbagai persoalan yang mengiringinya.
Dalam setiap periode pemerintahan juga terjadi pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Perbedaan interpretasi tersebut diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Sementara itu, terdapat prinsip atau ladasan yang tetap dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi yang demikian cepat.
Tulisan yang menggunakan pendekatan deskriptif-formalistik ini akan membahas mengenai landasan dan prinsip yang dianut dalam pelaksanaan poltik luar negeri Indonesia pada enam periode kepemimpinan, yaitu mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Landasan Politik Luar Negeri
Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri indonesia adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini berarti, pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian, semakin jelas bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945.
Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia diposisikan sebagai landasan idiil dalam politik luar negeri Indonesia Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik liar negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai filsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.
Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.
Semasa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melaui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945, yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:
  1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.
  2. Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
  3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain.
  4. Politik berdasarkan Piagam PBB.


Berdasarkan Maklumat tersebut, sesungguhnya telah jelas prinsip yang digunakan Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negerinya, yaitu kebijakan hidup bertetangga baik dengan negara-negara di kawasan, kebijakan tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.
Pada dasawarsa 1950-an landasan operasional dari prinsip bebas aktif mengalami perluaan makna. Hal ini diantaranya dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya berjudul “Jalannya Revolusi Kita (Jarek)” pada 17 Agustus 1960, bahwa, “Pendirian kita yang bebas aktif itu, secara aktif pula harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, supaya tidak berat sebelah ke Barat atau ke Timur”.[5]
Kemudian inti dari politik luar negeri Indonesia kembali dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam “Perincian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia” sekaligus merupakan garis-garis besar politik luar negeri Indonesia dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/ kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961. Inti kebijakan tersebut antara lain berisi tentang sifat politik luar negeri Republik Indonesia yang bebas aktif, anti imperalisme dan kolonialisme, dan memiliki tujuan sebagai berikut:[6]
  1. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia.
  2. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia.
  3. Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian di dunia.
Ketiga tujuan politik luar negeri tersebut pada kenyataannya tidak bisa dipisah-pisah satu dari yang lain, khususnya dalam perjuangannya untuk membengun dunia kembali yang aman, adil, dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah sebagai berikut:
Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
  1. Bebas aktif, anti-imperealisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan Amanat Penderitaan Rakyat.
Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
  1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;
  2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama antara negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara;
  3. Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Petunjuk Presiden 11 April 1973 sebagai perincian ketetapan MPR tersebut diatas, dengan menjabarkan berbagai usaha yang perlu dilakukan untuk melaksanakan prinsip bebas aktif. Upaya-upaya yang perlu dilakukan, antara lain meliputi hal-hal berikut ini:
  1. Memperkuat dan mempererat kerjasama antara negara-negara dalam lingkungan ASEAN;
  2. Memperkuat persahabatan dan memberi isi yang lebih nyata terhadap hubungan bertetangga baik dengan tetangga-tetangga Indonesia;
  3. Mengembangkan setiap unsur dan kesempatan untuk memperkokoh perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Tenggara;

  1. Membina persahabatan dengan negara-negara dunia pada umumnya serta mengusahakan peranan yang lebih aktif dalam memecahkan masalah-masalah dunia di lapangan ekonomi dan politik, untuk memperkuat kerjasama antara bangsa-bangsa dan perdamaian dunia;
  2. Bersama-sama negara berkembang lainnya memperjuangkan kepentingan bersama untuk pembangunan ekonomi
  • Petunjuk bulanan Presiden sebagai ketua Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan.
  • Keputusan-Keputusan Menteri Luar Negeri.
Selain berbagai ketentuan diatas, landasan operasional politik luar negeri indonesia juga dituangkan dalam TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu:[8]
  1. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1973
  2. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978
  3. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983
  4. TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1988
  5. TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1993
Seluruh ketetapan MPR diatas yang dijabarkan dalam Pola Uumum Pembangunan Jangka Panjang dan Pola Umum Pelita Dua hingga Enam, pada intinya menyebutkan bahwa: “Dalam bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera”.[9]
Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 diatas. Selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR  sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi.
Pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983, sasaran politik luar negeri indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini menandakan bahwa indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru terjadi pemerintahan secara cepat mulai dari B.J. Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan pasca-Orde Baru ini setidaknya secara substansif dalam landasan politik luar negerinya dapat dilihat pada dua kabinet yang memerintah yaitu Kabinet Gotong Royong (2001-2004) dan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Kabinet Gotong Royong mengopersionalkan politik luar negeri indonesia melalui:
Ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004.
GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang. khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
  1. Menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;
  2. Ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;

  1. Memperbaiki performa, penampilan diplomat indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;
  2. Meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melaui intensifikasi kerja sama regional dan internasional;
  3. Mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
  4. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
  5. Mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antar-negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
UU ini mengatur aspek penyelenggaraan hubungan  luar negeri dan politik luar negeri yang meliputi: sarana, mekanisme pelaksanaan hubungan luar negeri, pelindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, termasuk aparatur pada perwakilan RI.
Prinsip bebas aktif tertuang dalam pasal tiga UU tersebut, yang menyatakan bahwa politik luar negeri indonesia diabdikan untuk kepentingan nasional. Pada pasal selanjutnya juga ditegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidak rutin dan kreatif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan. Selain itu UU ini juga mengatur keterlibatan pihak-pihak dalam lembaga negara dan lembaga pemerintahan di dalam  penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, serta merupakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai beberapa aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
UU no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
UU yang diundangkan pada 23Ooktober 2000 ini menekankan pada pentingnya menciptakan suatu kepastian hukum dalam perjanjian internasional, selain sebagai pedoman dalam mekanisme pembuatan dan pengesahan  suatu perjanjian internasional. Sebelum UU ini muncul, selama ini pengaturan tentang pengesahan perjanjian internasional dilandaskan pada Surat Presiden Soekarno kepada DPRS No. 2826/ HK/ 1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain. Surat presiden tersebut menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Undang-Undang atau Keputusan Presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. Oleh karena, banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya dan sudah tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi, maka dibuatlah UU no. 24 tahun 2000 dengan dilandaskan pada Pasal 11 UUD 1945 dan UU no. 37 tahun 1999, yang berisi pokok-pokok materi sebagai berikut:
  1. Pembuatan perjanjian internasional
  2. Pengesahan perjanjian internasional
  3. Pemberlakuan perjanjian internasional
  4. Penyimpanan perjanjian internasional
  5. Pengakhiran perjanjian internasional
Di dalam Pasal 2 uu ini dinyatakan bahwa Menteri yang bertanggung jawab terhadap hubungan luar negeri, memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. berdasarkan pasal ini, tampak jelas bahwa DPR mulai dilibatkan dalam proses perjanjian internasional, dimana hal tersebut tidak terjadi pada periode sebelumnya.



Perubahan UUD 1945
Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada 19 Oktober 1999 berhasil melakukan perubahan pertama pada beberpa pasal dalam UUD 1945 yaitu pasal 5 ayat 1, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat 2 dan 3, pasal 20 dan pasal 21.
Khusus mengenai hubungan luar negeri, perubahan terjadi pada pasal 13, dimana pra amandemen menyebutkan bahwa:[10]
  1. Presiden mengangkat duta dan konsul
  2. Presiden menerima duta dari negara lain
Bunyi ketentuan yang baru dari pasal tersebut menyebutkan bahwa:
  1. Presiden mengangkat duta dan konsul
  2. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memerhatikan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kabinet selanjutnya pada pasca Orde Baru yaitu Kabinet Indonesia Bersatu. Kabinet ini meletakkan landasan operasional politik luar negerinya dalam tiga program utama nasional kebijakan luar negeri, yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yaitu:
  1. Pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi indonesia dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. Tujuan pokok dari upaya tersebut adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja politik luar negeri dan diplomasi dalam memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi, stabilitas politik dan persatuan nasional. Langkah ini sejalan dengan pidato Bung Hatta pada 15 Desember 1945, yang menyatakan bahwa “politik luar negeri yang dijalankan oleh negara mestilah sejalan dengan politik dalam negeri”. Seluruh rakyat harus berdiri dengan tegak dan rapat dibelakang pemerintah Republik Indonesia. sebagaimana lebih lanjut disampaikan oleh Hatta, bahwa “persatuan yang sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dalam diplomasi yang dijalankan”.
  2. Peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal berbagai peluang dalam diplomasi dan kerja sama internasional, terutama kerjasama ASEAN disamping negara-negara yang memiliki kepentingan yang sejalan dengan Indonesia. Langkah mementingkan kerja sama ASEAN dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan aktualisasi dari pendekatan ASEAN sebagai concentric circle utama politik luar negeri Indonesia.
  3. Penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membengun dan mengembangkan semangat multilateralisme dalam memecahkan berbagai persoalan keamanan internasional. Langkah diplomatik dan multilarealisme yang dilandasi dengan penghormatan terhadap hukum internasional dipandang sebagai cara yang lebih dapat diterima oleh subjek hukum internasional dalam mengatasi masalah keamanan internasional. Komitmen terhadap perdamaian internasional relevan dengan tujuan hidup bernegara dan berbangsa, sebagaimana dituangkan dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila sebagai sumber nilai dan paradigma pembangunan

A. PENGERTIAN NILAI


Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna
bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia.Adanya dua macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila sebagai dalam pembukaan UUD 1945. Alinea 4
dinyatakan sebagai nilai dasar dan penjabarannya sebagai nilai instrumental.
Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi. Betapapun pentingnya
nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum
operasional. Artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-undang
sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu
sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu kemudian dinamakan Nilai
Instrumental.


Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang
dijabarkannya Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam
bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama dan dalam batas-batas
yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.
B. CIRI-CIRI NILAI
Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah Sebagai berikut.
a.       Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang
bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang
bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai,
tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra adalah
kejujuran itu.
b.      Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita,
dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai
diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak.
Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku
yang mencerminkan nilai keadilan.
c.       Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung
nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.
Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong
untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.
C. MACAM-MACAM NILAI
Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu
a.       Nilai logika adalah nilai benar salah
b.      Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah (jelek)
c.       Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk
Berdasarkan klasifikasi di atas, kita dapat memberikan contoh dalam kehidupan.
Jika seorang siswa dapat menjawab suatu pertanyaan, ia benar secara logika.
Apabila ia keliru dalam menjawab, kita katakan salah. Kita tidak bisa mengatakan
siswa itu buruk karena jawabanya salah. Buruk adalah nilai moral sehingga bukan
pada tempatnya kita mengatakan demikian.
Contoh nilai estetika adalah apabila kita melihat suatu pemandangan, menonton
sebuah pentas pertunjukan, atau merasakan makanan, nilai estetika bersifat
subjektif pada diri yang bersangkutan. Seseorang akan merasa senang dengan
melihat sebuah lukisan yang menurutnya sangat indah, tetapi orang lain mungkin
tidak suka dengan lukisan itu. Kita tidak bisa memaksakan bahwa luikisan itu
indah.
Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan
baik atau buruk dari manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak
semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan
manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan
kita sehari-hari.
Notonegoro dalam kaelan (2000) menyebutkan adanya 3 macam nilai. Ketiga nilai
itu adalah sebagai berikut.
A.    Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani
manusia atau kebutuhan ragawi manusia.
B.     Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
C.     Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian meliputi
1.      Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia.
2.      Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan
(emotion) manusia.
3.      Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa,
Will) manusia.
Nilai religius yang merupakan nilai keohanian tertinggi dan mutlak serta
bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.



Diterimanya pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

1. Makna Nilai dalam Pancasila
a. Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.

b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.

c. Nilai Persatuan
Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia.

d. Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

e. Nilai Keadilan
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.





2. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Hukum
Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilai dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu bersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm (norma fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila.
Sistem hukum di Indonesia membentuk tata urutan peraturan perundang-undangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan sebagai
berikut.
A.      Undang-Undang Dasar 1945
B.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
C.      Undang-undang
D.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
E.       Peraturan Pemerintah
F.       Keputusan Presiden
G.     Peraturan Daerah

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
A.      UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.      Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)
C.      Peraturan pemerintah
D.      Peraturan presiden
E.       Peraturan daerah.
Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan kedudukannya sebagai dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Alinea IV.

3. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Etik
Upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku.


Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat

a. Etika Sosial dan Budaya
Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senafas dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan lapisan masyarakat.

b. Etika Pemerintahan dan Politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

c. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kiondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.

d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan keasadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum sejalan dengan menuju kepada pemenuha rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

e. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan
Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tingghi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika ini etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 Dengan adanya etika maka nilai-nilai pancasila yang tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut.
a.       Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif, langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten.
b.      Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara indoktrinasi.
c.       Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat.
d.      Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi masing-masing.
e.      Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di samping tanggung jawab kemanusiaan juga sebagai bagian pengabdian pada Tuhan Yang MahaEsa.